(๐๐ข๐ญ๐ข๐ฎ ๐ฌ๐ถ๐ณ๐ถ๐ฏ ๐ธ๐ข๐ฌ๐ต๐ถ 20 ๐ต๐ข๐ฉ๐ถ๐ฏ ๐ฆ๐ณ๐ข ๐๐ต๐ฐ๐ฏ๐ฐ๐ฎ๐ช ๐๐ฉ๐ถ๐ด๐ถ๐ด, ๐ด๐ฆ๐ซ๐ข๐ฌ 2001-2020, ๐๐ฆ๐ฎ๐ฆ๐ณ๐ช๐ฏ๐ต๐ข๐ฉ ๐๐ ๐ต๐ฆ๐ญ๐ข๐ฉ ๐ด๐ถ๐ฌ๐ด๐ฆ๐ด ๐ฎ๐ฆ๐ฎ๐ฃ๐ข๐ฏ๐จ๐ถ๐ฏ ๐ช๐ฏ๐ด๐ต๐ข๐ญ๐ข๐ด๐ช ๐๐๐/๐๐๐๐๐/๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐ ๐ฅ๐ช ๐ด๐ฆ๐ญ๐ถ๐ณ๐ถ๐ฉ ๐๐ข๐ฏ๐ข๐ฉ ๐๐ข๐ฑ๐ถ๐ข ๐ฅ๐ข๐ฏ ๐ต๐ฆ๐ญ๐ข๐ฉ ๐จ๐ข๐จ๐ข๐ญ ๐ฎ๐ฆ๐ฎ๐ข๐ซ๐ถ๐ฌ๐ข๐ฏ, ๐ฎ๐ฆ๐ญ๐ช๐ฏ๐ฅ๐ถ๐ฏ๐จ๐ช, ๐ฎ๐ฆ๐ฎ๐ฃ๐ฆ๐ณ๐ฅ๐ข๐บ๐ข๐ฌ๐ข๐ฏ & ๐ฃ๐ฆ๐ณ๐ฑ๐ช๐ฉ๐ข๐ฌ ๐ฑ๐ข๐ฅ๐ข ๐๐ณ๐ข๐ฏ๐จ ๐๐ด๐ญ๐ช ๐๐ข๐ฑ๐ถ๐ข)
๐๐ฅ๐๐ก ๐๐ซ. ๐๐จ๐๐ซ๐๐ญ๐๐ณ ๐.๐๐จ๐ฆ๐๐ง
Otonomi Khusus Papua nomor 21 Tahun 2001 yang terdiri 24 Bab dan 79 Pasal itu benar-benar gagal atau tidak berhasil.
Otsus telah menjadi mesin pembunuh dan pemusnah Penduduk Asli Papua. Dengan kata lain, Otonomi Khusus menjadi sarana efektif untuk kembalinya Papua sebagai Daerah Operasi Militer (OPM), atau Remiliterisasi. Kegagalan Otsus terbukti dengan tidak dilaksanakan Amanat Otonomi Khusus untuk keberpihakan (affirmative action), perlindungan ( protection), pemberdayaan (empowering), dan pengakuan hak-hak dasar orang asli Papua (recognition).
Dalam Otonomi Khusus ada pembangunan Kodim dan Koramil baru di seluruh Tanah Papua. Contoh: Kodim 1714 Puncak Jaya, Kodim 1715 Yahukimo, Batalyon 756 Jayawijaya, Koramil 1715 Kenyam, Nduga dan masih banyak lagi di Tanah Papua dari Sorong-Merauke.
Ada pembangunan beberapa Polres, seperti: Polres Puncak Jaya, Polres Lanny Jaya, Polres Tolikara, Polres Intan Jaya, Polres Yahukimo, Polres dan masih banyak lagi dari Sorong-Merauke.
Polres Puncak yang menelan biaya 13M lebih. Ini sesuai pengakuan Kapolda Papua, Jenderal Pol. Paulus Waterpauw, yang masuk di HP penulis:
"Yth.bp Kapolri, ijin melaporkan saat ini kami bersama Pangdam di Kab Puncak Ilaga dlm rangka laksanakan peresmian Polres Kab Puncak Ilaga yang dibantu anggaran pemda Puncak 13 M lebih sejak tahun 2016, kemarin kami juga telah ikuti peletakkan batu pertama Kodim Puncak Ilaga di Distrik Gome Kab Puncak, dump perkembangan akan dilapkan ksp pertama Kapolda Papua." (Sumber: WashApp Kapolda Papua, 21 Juli 2020).
Pertanyaannya ialah sumber dana dari mana Kodim dan Polres dibangun di setiap kabupaten baru dalam era Otonomi Khisus? Apakah rakyat Papua membutuhkan pembangunan Kodim dan Polres di setiap kabupaten?
Apakah dana 13 M lebih dari pemda Puncak ini berasal dari dana Otonomi Khusus 2001 atau dana APBD atau APDN?
Dari keprihatikan ini, Dewan Gereja Papua, juga disebut West Papua Council of Churches (WPCC) dalam laporan tertanggal 7 Oktober 2020 yang dirilis pada 8 Oktober membeberkan bukti-bukti REMILITERISASI atau berlaku kembali Daerah Operasi Militer (DOM) di Papua.
Laporan Dewan Gereja Papua (WPCC) membuka mata seluruh rakyat Indonesia dan komunitas global. Laporan itu berjudul: "Rakyat Papua Bukan Musuh NKRI: Stop Remiliterisasi Tanah Papua dam Tindaklanjuti Janji Presiden untuk Bertemu Kelompok Pro-Referendum Papua."
"Remiliterisasi Tanah Papua sebagai siasat Indonesia untuk melanjutkan OTSUS secara sepihak; mengembalikan Tanah Papua ke status DOM (Daerah Operasi Militer) melalui pembangunan KODIM & KOREM baru sejak 2019 dan pengiriman pasukan ke Tanah Papua yang dimulai sejak 29 Agustus 2019 hingga hari ini belum berakhir; dalam rangka penguasaan sumber daya alam Tanah Papua secara masif" (hal.1).
"Pemerintah gencar membangun KODAM, KOREM, KODIM, Batalyon/Yonif Satuan dan Bantuan Tempur di seluruh di Tanah Papua. Khusus KODIM, sebelum OTSUS ada 9 KODIM dan selama OTSUS telah bertambah 8 sehingga menjadi 17 KODIM saat ini. Selain itu ada juga penambahan Satuan TNI Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Penambahan juga terjadi dalam Institusi Kepolisian dengan membangun POLDA, POLRES dan POLSEK serta penambahan Institusi BRIMOB di Tanah Papua" (hal. 4).
WPCC juga melihat dan mencatat ada peningkatan signifikan jumlah pasukan TNI dan POLRI dari luar Papua. "Pendropingan pasukan TNI dan POLRI dari Luar Papua yang terus menerus dilakukan sejak Agustus 2019 hingga hari."
Dewan Gereja Papua (WPCC) dalam laporan ini juga dicantumkan juga akibat dari Remiliterisasi sebagai berikut:
"Akibat TNI/POLRI yang sedang gencar galakkan Operasi Militer di Tanah Papua ( di Nduga, di area, PT Freeport sejak Desember 2019, ratusan warga mengungsi ke kota Timika; Pasukan militer yang sudah didatangkan sejak Desember 2018 dan telah menewaskan 243 korban masyarakat sipil; Intan Jaya sejak Desember 2019, belum diketahui berapa puluh atau ratus warga yang menggungsi, terakhir TNI menembak mati Pdt. Yeremias Zanambani pada hari Sabtu, 19 September 2020). Banyak warga yang meninggalkan kampung dan tempat ibadah mereka demi menyelamatkan nyawa mereka. Sejumlah gedung gereja digunakan sebagai pos keamanan. Operasi militer di kampung-kampung tersebut juga memaksa dan menekan masyarakat untuk menerima program pemerintah memperpanjang Otsus 20 tahun berikutnya sampai 2041" (hal.4).
Dalam laporan yang sama Dewan Gereja Papua (WPCC) sampaikan, bahwa Operasi Militer ini dengan tujuan untuk merampas tanah penduduk asli Papua dan mendukung investor untuk penanaman kelapa sawit dan industri lainnya.
"Operasi keamanan di berbagai daerah di Tanah Papua akhir-akhir ini, tidak berjalan sendiri, melainkan kami menduga dalam rangka mendukung agenda terselubung perampasan tanah dan hutan adat ( sumber daya alam) milik masyarakat Papua oleh investor. Situasi ini bisa terlihat dari tangisan masyarakat adat Papua di Merauke (Marind, Muyu, Mandobo, Yakai), di Nduga, Timika, Intan Jaya, yang berulang kali mengalami kekerasan oleh aparat setelah menuntut hak adat mereka atas tanah dan hutan yang dirampas untuk penanaman kelapa sawit dan hutan tanaman industri lain; Nasyarakat Adat Papua di Kabupaten Tambrauw sejak tahun 2018 telah melakukan tuntutan menolak perusahaan kelapa sawit dan pendirian satuan-satuan militer di Tambrauw; masyarakat asli Papua di Intan Jaya baru saja menyatakan menolak masuknya anak perusahaan PT ANTAM yang hendak menguasai blok tambang di wilayah itu ditengah gencarnya operasi militer yang sedang berlangsung dan menyebabkan kematian serta pengungsian warga Intan Jaya (sekitar 8 Jemaat telah mengosongkan kampung halaman mereka" (hal.5)
Dalam menyikapi konflik kekerasan REMILITERISASI, ada suara gereja sebagai suara kenabian untuk pendekatan solusi damai dan bermartabat. "Pendekatan Damai terhadap konflik Papua yang sudah berjalan selama 60 tahun lebih, hal ini baru saja disuarakan oleh Pendeta Andrikus Mofu, Ketua Sinode GKI di Tanah Papua pada tanggal 19 September 2020" (Suara Papua,com,27 September 2020).
"Dalam semangat yang sama, Dewan Gereja Papua telah menyampaikan jalan Perundingan Damai, melalui Surat Gembala 26 Agustus 2019, yang mendesak Pemerintah RI untuk menunjukkan keadilan kepada rakyat Papua dengan solusi: berunding dengan ULMWP sebagaimana jalan Perundingan yang pernah ditempuh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla dalam menghadapi Konflik Berdarah dengan Aceh yang berakhir dengan Perjanjian Helsinki 15 Agustus 2005" (hal.6).
Untuk mewujudkan Perdamaian Permanen di Papua, Dewan Gereja Papua (WPCC) juga mendukung sikap dan janji Presiden Republik Indonesia, Ir. Joko Widodo untuk bertemu dengan kelompok Papua Pro-Referendum. Pernyataan WPCC itu terlihat dengan jelas sebagai berikut:
"Dan kepada Bapak Presiden Jokowi, kiranya Pancasila & Instrumen HAM bisa memberi Bapak pijakan untuk mewujudkan janji Bapak Presiden Jokowi untuk 'bertemu dengan kelompok Papua Pro-Referendum' tanggal 30 September 2019 lalu. Proposal inipun kami percaya, bukan hal baru, mengingatkan kita semua pada jejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam menyelesaikan Konflik Berdarah dengan Aceh" (hal.8).
Dewan Gereja Papua (WPCC) dengan konsisten mendukung dialog damai. Dalam laporan dengan tema: "TUHAN 'OTSUS PEMBANGUNAN INDONESIA UNTUK MENSEJAHTERAKAN RAKYAT PAPUA SUDAH MATI" (Renungan Dewan Gereja Papua) melihat sikap pemerintah RI, sebagai berikut:
"...kami tahu, pak Presiden Jokowi pergi menunjukkan solidaritas negara kepada warga Rohingya, dari Myanmar...setelah itu sebagai anggota Dewan Keamanan PBB, Presiden Jokowi sibuk menekan Israel untuk mendorong referendum bagi Kemerdekaan bangsa Palestina." (dok. Dewan Gereja Papua, 5 Juli 2020).
Dewan Gereja Papua (WPCC) mendorong pemerintah RI juga bersikap yang sama untuk menerima rakyat Papua Pro-Referendum yang terwadahi dalam United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) untuk berunding secara damai seperti Pemerintah RI sudah membuktikan dengan Aceh.
Posisi Dewan Gereja Papua (WPCC) terhadap perjuangan keadilan, perdamaian dan hak politik serta masa depan yang lebih damai dan manusiawi bagi rakyat Papua tercermin dengan meminta solidaritas Dewan Gereja Dunia (WCC) untuk mendorong pemerintah RI untuk berunding dengan ULMWP. Posisi Dewan Gereja Papua ini terlihat dalam Surat tertanggal, 16 Februari 2019 yang diserahkan kepada delegasi Dewan Gereja Dunia ke Papua pada 17 Februari 2019.
Demi martabat kemanusiaan, keadilan, perdamaian dan kebaikan semua orang solusi damai merupakan bukan suatu pilihan tetapi suatu keharusan. Karena perundingan damai adalah jalan terhormat.
Empat akar persoalan Papua sudah berhasil ditemukan dan dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang tertuang dalam buku Papua Road Map: Negociating the Past, Improving the Present and Securing the Future (2008).
Empat akar persoalan sebagai berikut:
(๐) ๐๐๐ฃ๐๐ซ๐๐ก ๐๐๐ง ๐ฌ๐ญ๐๐ญ๐ฎ๐ฌ ๐ฉ๐จ๐ฅ๐ข๐ญ๐ข๐ค ๐ข๐ง๐ญ๐๐ ๐ซ๐๐ฌ๐ข ๐๐๐ฉ๐ฎ๐ ๐ค๐ ๐๐ง๐๐จ๐ง๐๐ฌ๐ข๐;
(๐) ๐๐๐ค๐๐ซ๐๐ฌ๐๐ง ๐๐๐ ๐๐ซ๐ ๐๐๐ง ๐ฉ๐๐ฅ๐๐ง๐ ๐ ๐๐ซ๐๐ง ๐๐๐ซ๐๐ญ ๐๐๐ ๐ฌ๐๐ฃ๐๐ค ๐๐๐๐ ๐ฒ๐๐ง๐ ๐๐๐ฅ๐ฎ๐ฆ ๐๐๐ ๐ฉ๐๐ง๐ฒ๐๐ฅ๐๐ฌ๐๐ข๐๐ง;
(๐) ๐๐ข๐ฌ๐ค๐ซ๐ข๐ฆ๐ข๐ง๐๐ฌ๐ข ๐๐๐ง ๐ฆ๐๐ซ๐ฃ๐ข๐ง๐๐ฅ๐ข๐ฌ๐๐ฌ๐ข ๐จ๐ซ๐๐ง๐ ๐๐ฌ๐ฅ๐ข ๐๐๐ฉ๐ฎ๐ ๐๐ข ๐๐๐ง๐๐ก ๐ฌ๐๐ง๐๐ข๐ซ๐ข;
(๐) ๐๐๐ ๐๐ ๐๐ฅ๐๐ง ๐ฉ๐๐ฆ๐๐๐ง๐ ๐ฎ๐ง๐๐ง ๐ฆ๐๐ฅ๐ข๐ฉ๐ฎ๐ญ๐ข ๐ฉ๐๐ง๐๐ข๐๐ข๐ค๐๐ง, ๐ค๐๐ฌ๐๐ก๐๐ญ๐๐ง, ๐๐๐ง ๐๐ค๐จ๐ง๐จ๐ฆ๐ข ๐ซ๐๐ค๐ฒ๐๐ญ ๐๐๐ฉ๐ฎ๐.
Jadi, REMILITERISASI di Papua bukan solusi, tetapi pendekatan lama ini kembali lebih memperburuk dan menambah masalah dari empat akar masalah yang sudah ditemukan LIPI.
Perlu direnungkan pernyataan iman dari Prof. Dr. Franz Magnis dan Pastor Frans Lieshout adalah fakta, realitas, kenyataan, bukti tentang apa yang dilakukan penguasa kolonial Indonesia terhadap rakyat dan bangsa West Papua.
"Ada kesan bahwa orang-orang Papua mendapat perlakuan seakan-akan mereka belum diakui sebagai manusia.....“Situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu tertutup bagi media asing. Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia.” (hal.255).
“…kita akan ditelanjangi di depan dunia beradab, sebagai bangsa yang biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua, meski tidak dipakai senjata tajam.” (hal.257).
(Sumber: Franz: Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme Bunga Rampai Etika Politik Aktual, 2015).
Sementara Pastor Frans Lieshout melihat bahwa "Papua tetaplah luka bernanah di Indonesia."
(Sumber: Pastor Frans Lieshout OFM: Gembala dan Guru Bagi Papua, (2020:601).
Solusi untuk mengobati luka membusuk dan bernanah di tubuh bangsa Indonesia ialah Pemerintah Republik Indonesia dan ULMWP duduk satu meja untuk perundingan damai tanpa syarat yang dimediasi pihak ketiga yang netral untuk menemukan solusi damai yang permanen seperti Pemerintah RI telah berhasil dengan Aceh di Helsinki pada 15 Agustus 2005.
Selamat membaca. Waa...waa..waa..
๐๐จ๐ข๐ฎ๐ถ๐ข, ๐๐ฆ๐ฏ๐ช๐ฏ, 12 ๐๐ฌ๐ต๐ฐ๐ฃ๐ฆ๐ณ 2020
๐ฃ๐ฒ๐ป๐๐น๐ถ๐:
๐. ๐๐ซ๐๐ฌ๐ข๐๐๐ง ๐๐๐ซ๐ฌ๐๐ค๐ฎ๐ญ๐ฎ๐๐ง ๐๐๐ซ๐๐ฃ๐-๐ ๐๐ซ๐๐ฃ๐ ๐๐๐ฉ๐ญ๐ข๐ฌ ๐๐๐ฌ๐ญ ๐๐๐ฉ๐ฎ๐.
๐. ๐๐ง๐ ๐ ๐จ๐ญ๐: ๐๐๐ฐ๐๐ง ๐๐๐ซ๐๐ฃ๐ ๐๐๐ฉ๐ฎ๐ (๐๐๐๐).
๐. ๐๐ง๐ ๐ ๐จ๐ญ๐ ๐๐๐ฉ๐ญ๐ข๐ฌ๐ญ ๐๐จ๐ซ๐ฅ๐ ๐๐ฅ๐ฅ๐ข๐๐ง๐๐ (๐๐๐).
____
#TNI_POLRI #MILITER_INDONESIA #KEJAHATAN_RI